“Kamu telat.” Maria mendengus ke arah Seno yang baru tiba di teras rumahnya. “Do you know how many minutes I’ve been waiting in this terrace?”
Seno memasang wajah datar. Ia berusaha sedemikian mungkin menjaga emosinya agar tak terpancing. Ia mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya, dan kemudian melewati Maria menuju pintu depan.
“Kalo emang bakal telat, kasih kabar kek. Ada hape tuh dipake buat ngasih kabar, buat nelepon, buat SMS. Bukan buat nyombongin gadget baru doang!” hardik Maria. Tapi, Seno tetap tak merespon. Ia membuka kunci pintu depan, dan langsung masuk ke dalam rumah.
Sambil melepas jaket yang ia simpan di gantungan dekat pintu, Seno duduk di kursi tamu. Ia melepas sepatu, sementara Maria tetap berada di ambang pintu.
“Aku ga diundang masuk atau gimana, gitu?”
Seno melirik sekilas pada Maria. “Silakan masuk, Maria.”
Walau sudah dipersilakan masuk, sepertinya emosi Maria masih meledak-ledak dan ingin ditumpahkan pada Seno.
“Baru pertama kali aku ke sini, buat ngelarin urusan kita, kamu malah telat dan diem aja dari tadi. Bikin kesel tau!” Maria berseru sambil duduk di kursi tamu di seberang Seno.
Seno menghela napas. Ia menatap Maria, sambil kemudian merogoh saku celananya tanpa berdiri dari duduknya.
“Lama-lama, aku ga tahan hubungan seperti ini. Aku ga bisa pacaran lebih lama lagi sama kamu.” Maria berkata sambil membuang muka ke arah kanan.
“AKU JUGA GA BISA PACARAN LEBIH LAMA LAGI SAMA KAMU!” Seno langsung merespon sambil berdiri. Suaranya lantang, mengagetkan Maria sehingga ia langsung menatap Seno kembali.
Maria diam. Emosinya yang sedari tadi meledak-ledak sirna seketika. Ia kaget sekaligus khawatir dengan respon Seno yang tiba-tiba berubah itu. Selama ini, belum pernah ia mendengar Seno berteriak seperti tadi. Apalagi, kini ia berada di rumah kontrakan Seno, otomatis, posisinya sangat lemah.
Seno kemudian beranjak mendekati Maria. Perlahan, dengan salah satu tangan di saku celananya. Perasaan was-was timbul dalam diri Maria, sehingga ia pun mengalihkan pandangannya menjauh dari Seno.
Tepat ketika jarak dengan kursi yang diduduki Maria tinggal selangkah, Seno berlutut sambil menyorongkan sebuah kotak merah kecil.
“Aku ga bisa pacaran lebih lama lagi sama kamu, karena aku pengen nikah sama kamu.” ucap Seno. “Would you marry me?”
Dan, raut wajah Maria tiba-tiba langsung menjadi ceria dengan semburat merah.